Senyum
Selasa, 5 April 2022 06:34 WIBMenceritakan tentang diskriminasi persaudaraan yang dilihat dari status kekayaan. Ika dan suami yang pulang buru - buru dari perjamuan keluarga karena mendapatkan perlakuan buruk dari keluarga hanya karena tidak memiliki mobil seperti saudara yang lain.
Senyum...
Hari itu kami mendatangi rumah tanteku di daerah Jakarta Timur. Aku yang notabenenya adalah seorang anak dari manager harus hidup paspasan setelah menikah. Suamiku hanyalah seorang kuli pabrik makanan di daerah Tangerang. Sementara aku bekerja sebagai pelayan toko di dekat rumah. Aku menyambi pekerjaanku dengan berjualan pulsa dan kosmetik ke lingkungan sekitar dan juga teman - temanku. Apapun aku dan suamiku lakukan demi memberikan kehidupan yang layak bagi anak kami.
Motor suamiku terparkir berjejer dengan mobil - mobil milik kakak dan adik sepupuku. Semenjak sepeninggal papa, kehidupan ekonomi aku dan kakak adik ku merosot. Entah kenapa, usaha yang dibangun adikku menurun, dan suami kakakku diberhentikan dari pekerjaan sehingga mereka baru saja memulai bisnis baru. Mama ku tinggal bersama kakakku dengan alasan ingin membantu bisnis kakakku.
Sebetulnya saat itu aku enggan mendatangi perkumpulan keluarga pada hari itu, aku sedikit minder dengan apa yang tidak kumiliki. Namun suamiku meyakini kalau semua akan baik baik saja. Ketika sampai, aku cukup tidak disambut dengan ramah. Aku langsung berjalan kearah dapur untuk membantu - bantu semampuku, tidak lupa ku bawakan kue lapis yang kubeli di toko bakery tadi sebagai buah tangan. Tanteku tersenyum melihatku membawakan kue dari merk ternama.
"Suamimu masih jadi buruh pabrik ka?"
"Iya.."
"Kamu juga masih jadi pelayan toko?"
"Iya.."
"Ya apa cukup ta untuk anak anak mu, sekolah sekarang mahal, belum lagi kalau anakmu sakit?"
Aku menunduk terdiam, dan hanya membalas ucapan tante dengan senyuman.
"Lha trus mamamu gimana?"
"Mama Alhmdulillah sehat, sekarang tinggal di tempat kaka Tia, karena lebih dekat kalau ke makam papa".
"Lha kak Tia itu apa kerjane sekarang?"
"Buka usaha katering, tan, masih baru merintis"
"Oh.., karyawannya berapa?"
"Setahu Ika belum ada karyawan tan, hanya dkerjakan berdua Kak Tia dan Mas Idris saja."
"Owalah.., belum besar, toh, usahane? Lha adikmu bagaimana? Bisnisnya kemarin, kan, bangkrut, trus sekarang piye?"
"Alhamdulillah kabar baik, anak-anaknya juga sehat-sehat. Sekarang Lia bekerja di pabrik dekat rumahnya, dan suaminya membuka warung kelontong dirumahnya".
"Lha mamamu sibuk dong bantu kak Tia?"
"Yaa.., mama memang tidak bisa diam tan. Mama sibuk mencari kesibukan sendiri lah".
"Ya, kayak kamu itu, kok, monoton aja toh, buka usaha apa gituloh. Biar ada penghasilan lebih, Kemarin, noh, Rio, adek sepupumu toh, baru beli mobil baru, cash lagi, bangga tante punya anak kayak Rio, ndak sia sia sekolah hasilnya kelihatan".
Aku tersenyum mendengar ucapan tante. Aku senang mendengar adik sepupuku yang sukses dalam karir. Jelas sudah perasaanku tadi enggan datang ke rumah ini. Hanya untuk dipermalukan saja. Semua sepupuku sibuk mengobrol mengenai tas, baju, dan bahkan konser musik. Sementara aku hanya sibuk membersihkan sisa makanan mereka dan membersihkan dapur saja. Aku melihat dari dapur, tidak ada seorangpun yang menegur suami dan anakku.
Anak-anak yang seumuran dengan anakku semua sibuk dengan gadget masing-masing. Sementara anakku hanya menggelendot dengan ayahnya dan sibuk mengobrol dengan ayahnya. Sungguh bagai teriris hati ini melihat perlakuan mereka yang sungguh berbeda. Dulu ketika papa masih ada, mereka sering mengelu-elukan nama papaku dan mengantri untuk uluran tangan dari papa. Aku semakin tersadar siapa aku ini.
Aku buru-buru menyelesaikan cucian piring dan segera pamit meninggalkan rumah itu dan dalam hati aku berjanji tidak mau mendatangi pertemuan semacam itu lagi. Di perjalanan aku melihat sebuah taman kecil. Aku meminta Mas Rizwan untuk berhenti dan beristirahat sebentar di sana. Anakku loncat kegirangan karena bisa bermain dengan bebas di taman. Cukuplah ini kebahagiaan kami. Aku melihat wajah suamiku yang kepanasan akan sinar matahari, namun masih tersenyum menghadapi nakalnya anak kami yang merengek minta dibelikan mainan pistol air.
"Mas, maaf ya, tadi pasti kamu gak nyaman ada ditempat tante Nur".
"Bukannya kamu yang gak nyaman?"
Aku tertegun dengan ucapan Mas Rizwan. Aku tatap mata nya dalam dalam. Bagaimana dia tau kalau tadi aku sangat tidak nyaman ada disana. Pecah tangisku dengan sepenggal kalimat dari mas Rizwan.
"Aku bisa terima mereka meremehkanku, tapi tidak dengan kakak, mama dan adikku, bahkan mereka meremehkan kamu mas."
"Biarkan mereka, Allah sayang kita, kamu lihat senyum Alya, itu jauh lebih indah dari harta mereka. Kita doakan saja, semoga setelah ini kehidupan kita jauh lebih bahagia dari mereka".
Aku sangat bersyukur sekali Allah menitipkan suami yang sabar dan penyayang seperti mas Rizwan. Satu kalimat dari mas Rizwan menenangkan hatiku. Namun bolehkah aku sedikit saja menyampaikan isi hatiku. Aku, Kak Tia, Lia ataupun Mama tidak pernah meminta diberikan kekayaan ataupun kemiskinan. Apapun yang Allah titipkan selalu kami syukuri. Bisakah mereka tidak mengkritik atas tindakan kami yang bagi mereka salah namun itu tetap yang terbaik bagi kami. Aku tidak meminta mereka untuk membantu ekonomi keluargaku. Bukankan diam itu lebih baik daripada menilai tanpa memberi solusi. Mereka berhak bicara, namun kuharap mereka berbicara jauh dari telingaku. Aku tidak akan membicarakan mereka ke kakak atau adikku, cukup Allah yang akan menjadi pendengarku. Kuharap ketika tiba saat mereka ada di titikku ini, mereka bisa tetap tersenyum seperti sekarang. Sama seperti yang aku lakukan sekarang.
Ayy - 220404
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler